Senin, 7 Juli 2025. Rombongan direktorat PPTQ Qoryatul Qur’an bersilaturahmi ke rumah Ustaz Zuhal Abdurrahman, Lc., MA. di Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Rombongan tiba di lokasi bakda Salat Asar, dijamu di gazebo yang menjadi ruang tamu rumah beliau.
Silaturahmi ini dalam rangka takziah meninggalnya ibunda dari Ustaz Zuhal, yakni Nyai Hj. Asmani, yang berpulang pada Kamis, 3 Juli 2025, di Lamongan, Jawa Timur. Almarhumah adalah istri pendiri Ponpes Karangasem Paciran, Lamongan.
Hari Ahad sebelumnya, rombongan direktorat berniat melayat ke Lamongan dan sudah posisi siap berangkat. Namun, Ustaz Zuhal yang sempat berkomunikasi, menyarankan untuk silaturahmi ke rumah beliau saja di Klaten, karena sudah hendak bertolak dari Lamongan.
Dakwah untuk Semua Golongan
Berbincang ramah-tamah bersama Ustaz Zuhal, banyak hal yang bisa dijadikan bahan pembelajaran tentang kehidupan dan dakwah. Begitu rombongan dari Weru ini tiba, beliau menyambut dengan hangat. Cerita penuh hikmah pun mengalir, yang berkaitan dengan almarhumah ibunda tercinta.
Mengenal Ustaz Zuhal, maka kita akan melihat sosok pendakwah yang bisa diterima di semua kalangan. Di antara yang beliau sebut adalah kalangan Muhammadiyah, NU, PKS, hingga salafi. “Makanya, saya tidak mau kalau diajak masuk struktural mereka, biar tetap nyaman di kalangan mana saja,” kata beliau.
![]() |
Ustaz Zuhal Abdurrahman mengenang ibunda tercinta |
“Kalau ada yang meragukan saya orang Muhammadiyah, belahlah dadaku, darah saya darah Muhammadiyah,” ungkap Ustaz Zuhal bersemangat. “Tapi saya mondoknya di NU (Nahdlatul Ulama), raja tahlil saya ini,” kata beliau disambut tawa segenap tamu yang hadir.
Ayahanda beliau, KH. Abdurrahman Syamsuri, pendiri Ponpes Karangasem Paciran, Lamongan, semasa hidupnya adalah Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan selama dua periode (1978-1986 dan 1986-1991).
Lebih jauh lagi, KH. Abdurrahman Syamsuri adalah santri dan menantu KH. Muhammad Amin Musthofa, seorang tokoh penggerak paham Muhammadiyah Lamongan di Desa Tunggul, Kecamatan Paciran.
Ustaz Zuhal sempat mengisahkan pengalaman jadi lurah santri di salah satu pondok NU. Ketika meninggalnya Bu Nyai, beliau dipercaya untuk mencatat dan menjadwal mengaji Al-Qur’an di makam almarhumah dalam 24 jam sepanjang 40 hari.
Sebagian juga mengenal beliau sebagai ustaznya PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan menurut pengakuan beliau, sudah berkali-kali menolak ketika diajak bergabung dalam kepengurusan partai politik berbasis Islam tersebut.
Pendakwah yang kini aktif mengajar di Ponpes Yapi Sunni Tegalgondo Klaten, Ma’had Baitul Hikmah Sukoharjo, dan Ma’had Ar Ridha Klaten ini tidak ingin eksklusif pada salah satu golongan. Beliau terinspirasi dari Ponpes Darussalam Gontor: “Berdiri di atas dan untuk semua golongan.”
Untuk bisa diterima di semua golongan, maka Ustaz Zuhal memberikan tips sederhana. “Menghormati, jangan mencela atau menjelekkan,” begitu kata beliau. Itulah yang membuat beliau bisa diterima di mana saja.
Menikah agar Menjadi Mahram
“Ibu yang meninggal kemarin itu bukan ibu kandung saya,” ungkap Ustaz Zuhal. “Ibu kandung saya meninggal saat melahirkan, perdarahan karena waktu itu kan belum ada dokter atau bidan.”
Ustaz Zuhal kemudian mengisahkan tentang istri pertama sang ayahanda. Ceritanya ketika Abdurrahman Syamsuri muda masih menjadi santrinya KH. Muhammad Amin Musthofa, beliau menjadi santri kepercayaan sang Kiai.
“Abah waktu itu diambil menantu oleh Kiai Amin, tapi tujuannya untuk menjadi mahram bagi keluarga beliau,” Ustaz Zuhal memulai kisah tentang sang ayahanda. “Sebelum Kiai Amin berangkat perang melawan Belanda, beliau nikahkan Abah dengan putrinya yang masih kecil, umur 6 atau 7 tahun.”
![]() |
Silaturahmi dan takziah ke rumah Ustaz Zuhal |
Dikisahkan bahwa Abdurahman Syamsuri adalah santri Kiai Amin yang rajin. Setiap pagi, kolah besar penampungan air di rumah Kiai Amin selalu penuh isinya. Penasaran, sang Kiai mengintip siapa yang mengisinya setiap subuh.
“Ternyata kamu, Man, yang mengisinya tiap hari?” kata Kiai Amin begitu tahu siapa pelakunya. “Aku doakan, kelak kamu menjadi Kiai besar, Man.” Selain itu, Abdurrahman termasuk santri yang cerdas dan mudah menangkap pelajaran, sehingga Kiai Amin pun berkeinginan menjadikannya menantu.
“Putri Kiai Amin bernama Rahimah yang masih di bawah umur itu tentu saja tidak diapa-apakan sama Abah saya, meski sudah resmi menjadi istri,” kata Ustaz Zuhal. “Tapi dengan adanya pernikahan itu, maka Abah bisa leluasa keluar masuk rumah untuk bantu-bantu selama ditinggal perang.”
Jadi, Abdurrahman Syamsuri muda bisa mengerjakan pekerjaan rumah di sana dengan bebas karena sudah menjadi mahram. Dari menyapu, mengepel, membenarkan lampu minyak, dan pekerjaan rumah lainnya.
“Ketika Kiai Amin sudah pulang dari perang, Abah dipisahkan dari putri beliau itu, diceraikan.” Di antara alasannya adalah karena Abdurahman Syamsuri masih ingin menuntut ilmu ke banyak Kiai lainnya, mulazamah.
Sepulangnya dari berguru ilmu agama ke banyak tempat, Abdurrahman Syamsuri kemudian menikahi Muzayanah, ibu kandung Ustaz Zuhal. “Ibu saya ini melahirkan 12 anak, sebelum akhirnya meninggal pada usia 35 tahun. Ada 7 anak yang hidup sampai menikah, sisanya meninggal sebelum beranjak dewasa.”
Ketika Abdurrahman Syamsuri sudah memiliki 5 anak, datang seorang ibu yang meminta menikahi putrinya. Segala biaya pernikahan sampai rumah tinggal, disediakan oleh ibu itu, tanpa mengharap apa-apa selain ingin ilmu dari ayahandanya Ustaz Zuhal. Istri kedua ini bernama Hasanah.
“Maka kalau berdoa, Abah membaca Rabbana aatina fid dunya Hasanah, wa fil aakhiratika Muzayanah,” kata Ustaz Zuhal setengah bergurau, disambut tawa para tamu beliau. “Biar tidak iri katanya.”
“Kemudian, Abah menikah dengan istri ketiga, bernama Asmani, yang meninggal kemarin itu,” kata Ustaz Zuhal. “Beliau adalah ibu yang merawat saya sejak kecil, sepeninggal ibu kandung saya. Maka, hormat saya pada beliau, sama besar pada ibu kandung saya.”
Kisah Nyai Hj. Asmani
Di pondok pesantren yang didirikan KH. Abdurrahman Syamsuri, kiprah dari Nyai Hj. Muzayanah sangat besar. Beliau yang masak untuk santri, masak untuk dikirim ke sawah, dan masak untuk tamu yang datang.
Ketika Allah Swt., memanggil Nyai Hj. Muzayanah berpulang pada-Nya, maka istri ketiga KH. Abdurrahman Syamsuri yang menggantikannya. Nyai Hj. Asmani merawat anak sendiri dan juga tujuh anak yang ditinggalkan oleh ibu kandung Ustaz Zuhal.
Yang membuat Ustaz Zuhal sangat hormat pada Nyai Hj. Asmani adalah, ketika merawat anak-anak dari KH. Abdurrahman Syamsuri, beliau tidak membeda-bedakan kasih sayangnya. Semua diperlakukan selayaknya anak kandung sendiri.
Urusan masak di Ponpes Karangasem Paciran semua ditangani Nyai Hj. Asmani. “Bahkan untuk pernikahan anak-anak Abah, semua beliau yang mengurusi dan masak. Tidak perlu catering segala macam,” begitu Ustaz Zuhal mengisahkan penuh semangat.
Rasa hormat pada sang ibu yang merawat sejak kecil, di antaranya adalah ditunjukkan oleh Ustaz Zuhal dengan mengumrahkan beliau sebanyak dua kali. Begitulah sosok Nyai Hj. Asmani di mata sang anak.
Ketika KH. Abdurrahman Syamsuri meninggal dunia, dengan masih meninggalkan anak kecil. Bu Nyai tak segan berjualan di rumah, jualan makanan ringan yang beli para santri. Begitulah sosok ikhlas yang layak diteladani muslimah masa kini, dalam mendukung dakwah sang suami.
Berpulangnya Nyai Hj. Asmani meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Sosoknya dikenal sebagai istri penuh kesabaran yang mendampingi perjuangan dakwah KH. Abdurrahman Syamsuri dengan ketulusan dan keteguhan hati.
Almarhumah tidak hanya menjadi ibu bagi anak-anaknya, tetapi juga figur keibuan bagi para santri. Semoga segala amal ibadah beliau diterima di sisi Allah, dan keluarga yang ditinggalkan senantiasa diberi ketabahan serta kekuatan untuk melanjutkan warisan kebaikannya.
Posting Komentar untuk "Takziah Ibunda Ustaz Zuhal Abdurahman, Belajar Makna Pengabdian dari Istri Pendiri Ponpes Karangasem Paciran Lamongan"